Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius.
Hal tersebut tercermin baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam
kehidupan bernegara. Di lingkungan masyarakat-terlihat terus meningkat
kesemarakan dan kekhidmatan kegiatan keagamaan baik dalam bentuk ritual, maupun
dalam bentuk sosial keagamaan. Semangat keagamaan tersebut, tercermin pula
dalam kehidupan bernegara yang dapat dijumpai dalam dokumen-dokumen kenegaraan
tentang falsafah negara Pancasila, UUD 1945, GBHN, dan buku Repelita serta memberi jiwa dan warna pada
pidato-pidato kenegaraan.
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional
semangat keagamaan tersebut menj adi lebih kuat dengan ditetapkannya asas
keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa sebagai salah satu asas
pembangunan. Hal ini berarti bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan
nasional dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan
spiritual, moral dan etik pembangunan.
B. Sejarah Kementerian Agama
Secara historis benang merah nafas keagamaan
tersebut dapat ditelusuri sejak abad V Masehi, dengan berdirinya kerajaan Kutai
yang bercorak Hindu di Kalimantan melekat pada kerajaan-kerajaan di pulau Jawa,
antara lain kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, dan kerajaan Purnawarman di
Jawa Tengah.
Pada abad VIII corak
agama Budha menjadi salah satu ciri kerajaan Sriwijaya yang pengaruhnya cukup luas
sampai ke Sri Lanka, Thailand dan India. Pada masa Kerajaan Sriwijaya, candi
Borobudur dibangun sebagai lambang kejayaan agama Budha. Pemerintah kerajaan
Sriwijaya juga membangun sekolah tinggi agama Budha di Palembang yang menjadi
pusat studi agama Budha se-Asia Tenggara pada masa itu. Bahkan beberapa siswa
dari Tiongkok yang ingin memperdalam agama Budha lebih dahulu beberapa tahun
membekali pengetahuan awal di Palembang sebelum melanjutkannya ke India.
Menurut salah satu sumber Islam mulai memasuki
Indonesia sejak abad VII melalui para pedagang Arab
yang telah lama berhubungan dagang dengan kepulauan Indonesia tidak lama
setelah Islam berkembang di jazirah Arab. Agama Islam tersiar secara hampir
merata di seluruh kepulauan nusantara seiring dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam seperti Perlak dan Samudera Pasai di Aceh, kerajaan
Demak, Pajang dan Mataram di Jawa Tengah, kerajaan Cirebon dan Banten di Jawa
Barat, kerajaan Goa di Sulawesi Selatan, keraj aan Tidore dan Ternate di
Maluku, keraj aan Banjar di Kalimantan, dan lain-lain.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia
menentang penjajahan Belanda banyak raja dan kalangan bangsawan yang bangkit
menentang penjajah. Mereka tercatat sebagai pahlawan bangsa, seperti Sultan
Iskandar Muda, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim,
Sultan Agung Mataram, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Agung Tirtayasa,
Sultan Hasanuddin, Sultan Goa, Sultan Ternate, Pangeran Antasari, dan
lain-lain.
Pola pemerintahan kerajaan-kerajaan tersebut diatas pada umumnya selalu memiliki dan melaksanakan fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi pemerintahan umum,
hal ini tercermin pada gelar "Sampean Dalem Hingkang Sinuhun" sebagai
pelaksana fungsi pemerintahan umum.
2. Fungsi pemimpin keagamaan
tercermin pada gelar "Sayidin Panatagama Kalifatulah."
3. Fungsi keamanan dan
pertahanan, tercermin dalam gelar raja "Senopati Hing Ngalogo." Pada
masa penjajahan Belanda sejak abad XVI sampai pertengahan abad XX pemerintahan
Hindia Belanda juga "mengatur" pelayanan kehidupan beragama. Tentu
saja "pelayanan" keagamaan tersebut tak terlepas dari kepentingan
strategi kolonialisme Belanda. Dr.C. Snuck Hurgronye, seorang penasehat
pemerintah Hindia Belanda dalam bukunya "Nederland en de Islam"
(Brill, Leiden 1911) menyarankan sebagai berikut:
"Sesungguhnya menurut prinsip yang tepat,
campur tangan pemerintah dalam bidang agama adalah salah, namun jangan
dilupakan bahwa dalam sistem (tata negara) Islam terdapat sejumlah permasalahan
yang tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan agama yang bagi suatu
pemerintahan yang baik, sama sekali tidak boleh lalai untuk mengaturnya. "
Pokok-pokok kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda di bidang agama adalah sebagai berikut:
1. Bagi golongan Nasrani
dijamin hak hidup dan kedaulatan organisasi agama dan gereja, tetapi harus ada
izin bagi guru agama, pendeta dan petugas misi/zending dalam melakukan
pekerjaan di suatu daerah tertentu.
2. Bagi penduduk pribumi
yang tidak memeluk agama Nasrani, semua urusan agama diserahkan pelaksanaan dan
perigawasannya kepada para raja, bupati dan kepala bumiputera lainnya.
Berdasarkan kebijaksanaan tersebut,
pelaksanaannya secara teknis dikoordinasikan oleh beberapa instansi di pusat
yaitu:
1. Soal peribadatan umum,
terutama bagi golongan Nasrani menjadi wewenang Departement van Onderwijs en
Eeredienst (Departemen Pengajaran dan Ibadah).
2. Soal pengangkatan pejabat
agama penduduk pribumi, soal perkawinan, kemasjidan, haji, dan lainlain,
menjadi urusan Departement van Binnenlandsch Bestuur (Departemen Dalam Negeri).
3. Soal Mahkamah Islam
Tinggi atau Hofd voor Islamietische Zaken menjadi wewenang Departement van
Justitie (Departemen Kehakiman). Pada masa penjajahan Jepang kondisi tersebut
pada dasarnya tidak berubah. Pemerintah Jepang membentuk Shumubu, yaitu kantor
agama pusat yang berfungsi sama dengan Kantoor voor Islamietische Zaken dan
mendirikan Shumuka, kantor agama karesidenan, dengan menempatkan tokoh
pergerakan Islam sebagai pemimpin kantor. Penempatan tokoh pergerakan Islam
tersebut merupakan strategi Jepang untuk menarik simpati umat Islam agar
mendukung cita-cita persemakmuran Asia Raya di bawah pimpinan Dai Nippon.
Secara filosofis, sosio politis dan historis
agama bagi bangsa Indonesia sudah berurat dan berakar dalam kehidupan bangsa.
Itulah sebabnya para tokoh dan pemuka agama selalu tampil sebagai pelopor
pergerakan dan perjuangan kemerdekaan baik melalui partai politik maupun sarana
lainnya. Perjuangan gerakan kemerdekaan tersebut melalui jalan yang panjang
sejak jaman kolonial Belanda sampai kalahnya Jepang pada Perang Dunia ke II. Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945.
Pada masa kemerdekaan kedudukan agama menjadi
lebih kokoh dengan ditetapkannya Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara
dan UUD 1945. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang diakui
sebagai sumber dari sila-sila lainnya mencerminkan karakter bangsa Indonesia
yang sangat religius dan sekaligus memberi makna rohaniah terhadap
kemajuankemajuan yang akan dicapai. Berdirinya Departemen Agama pada 3 Januari
1946, sekitar lima bulan setelah proklamasi kemerdekaan kecuali berakar dari
sifat dasar dan karakteristik bangsa Indonesia tersebut di atas juga sekaligus
sebagai realisasi dan penjabaran ideologi Pancasila dan UUD
1945. Ketentuan juridis tentang agama tertuang dalam UUD
1945 BAB E pasal 29 tentang Agama ayat 1, dan 2: Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
0 komentar:
Posting Komentar