Selamat Datang di Media Online KUA Kecamatan Turi Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Alamat Kantor : Keringan, Wonokerto, Turi, Sleman (0274) 4461590

Rabu, 06 Februari 2013

Jika MK Kabulkan Uji Materi UU 23 Tahun 2011

Belum genap satu tahun Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat  sudah diajukan pengujian terhadap Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, pasal 18, Pasal 19, Pasal 38, dan Pasal 41 Undang-undang tersebut dianggap bertentangan dengan  Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dengan registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi  bernomor 86/PUU-X/2012 tanggal 3 September 2012, dengan perbaikan permohonan tertanggal 1 Oktober 2012.
Pengujian terhadap pasal-pasal tersebut diajukan oleh Rini Suprihartanti selaku Pengurus Yayasan Dompet Dhuafa dan kawan-kawan, yang tergabung dalam Tim Advokasi Koalisi Masyarakat Zakat Indonesia (KOMAZ), dan telah memberikan kuasa kepada Heru Susetyo, S.H., LL.M, dkk. yang beralamat di Jl. TB. Simatupang, Komplek Departemen Sosial RI Nomor 19 Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Pokok persoalan yang dimohonkan oleh para Pemohon, pada intinya adalah sebagai berikut: Pertama, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Undang-undang a quo dianggap menyebabkan terjadinya sentralisasi pengelolaan zakat nasional yang sepenuhnya di tangan pemerintah, yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan menyubordinasikan serta memarjinalisasi Lembaga Amil Zakat (LAZ) di bawah BAZNAS yang statusnya adalah sama-sama sebagai operator zakat nasional (Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 17 UU a quo);
Kedua, undang-undang a quo dapat melemahkan, bahkan mematikan perkembangan LAZ, serta adanya konflik kepentingan (conflict of interest), karena BAZNAS menyandang status sebagai operator zakat dan memiliki kewenangan regulator (Pasal 18 dan Pasal 19 UU a quo);
Ketiga, menurut Para Pemohon, ketentuan-ketentuan dalam undang-undang a quo menyebabkan terjadinya kriminalisasi terhadap para amil zakat yang tidak memiliki izin dari pejabat yang berwenang, meskipun para amil zakat tersebut memiliki kredibilitas tinggi, sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat;
Singkatnya, menurut Para Pemohon, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam undang-undang a quo menimbulkan ketidakjelasan, kekhawatiran, mencerminkan kemunduran demokrasi, pelecehan terhadap prinsip negara hukum, pengabaian terhadap hak-hak asasi manusia, menegasikan prinsip-prinsip kebebasan berserikat, yang pada gilirannya dapat menciptakan ketidakadilan (unjustice) dan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Karenanya, menurut Para Pemohon, ketentuan-ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28H ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Jika MK mengabulkan permohonan para pemohon khususnya pasal 18 (2) yang berbunyi huruf a terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; dan huruf b berbentuk lembaga berbadan hukum; tentang persyaratan pendirian LAZ menjadi persyaratan alternatif, maka dimungkinkan akan terjadi dua hal berikut:
Pertama, setiap keluarga yang terdiri dari 3 orang dapat membentuk LAZ, karena ia dapat membuktikan bahwa dirinya telah menjadi lembaga berbadan hukum seperti yayasan, kooperasi, atau badan lainnya. Bila hal ini tidak dapat dicegah, maka akan menjamurlah LAZ-LAZ bagaikan cendawan di musim hujan. Barangkali para pemohon itu tidak sadar, bahwa pendirian LAZ dengan UU yang lama pun mereka tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Agama No. 373 tahun 2003 tentang Pelaksanaan UU No. 38 tentang Pengelolaan Zakat  Pasal 22 huruf a. bahwa “Permohonan untuk dikukuhkan sebagai lembaga Amil Zakat dapat diajukan oleh masyarakat dengan kriteria  sebagai organisasi Islam dan atau lembaga dakwah yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat Islam”. Benarkah para pemohon tersebut telah memenuhi syarat dan kriteria sebagaimana tersebut pada pasal dimaksud? Jika tidak! Maka mereka tidak memiliki kekuatan hukum.
Disamping itu, Pasal 21 (2) pada peraturan/keputusan yang sama bahwa yang berhak mengukuhkan LAZ adalah: “Tingkat Pusat dikukuhkan oleh  Menteri Agama dan tingkat daerah adalah Gubernur” sementara tingkat kabupaten/kota tidak ada, dalam pengertian bahwa LAZ tingkat kabupaten/kota tidak ada. Jadi LAZ hanya dapat dikukuhkan tingkat pusat dan tingkat provinsi.
Kedua, tidak menutup kemungkinan akan bermunculan LAZ yang tidak berbasis keislaman dan tidak bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial. Siapapun boleh mengelola zakat asalkan berbadan hukum. Mungkin ini yang dikhawatirkan Pemerintah, lembaga di luar Islam bisa saja mengelola zakat. Pemerintah menginginkan pengelolaan zakat sesuai dengan syariat Islam dan untuk kesejahteraan umat Islam, bukan menyejahterakan salah satu asnaf zakat tertentu.
Jika semua pihak pengelola zakat memiliki niat yang sama dengan tujuan menyejahteraan umat Islam yang belum sejahtera (kualitas hidup meningkat), kenapa tidak mau bersatu? Mari kita perkuat kelembagaan zakat, agar pengelolaan zakat lebih meningkat dan lebih baik lagi dari sebelum-sebelumnya. Kita tidak rugi kalau bersatu bahkan akan memperkokoh pengelolaan zakat di masa mendatang.
Mari kita berfikir jernih, mudah-mudah pengelolaan zakat bermanfaat untuk kesejehteraan umat Islam. Mudah-mudahan menjadi bahan masukan bagi semua pihak dalam pengelolaan zakat. Semoga bermanfaat, Amin.

Sumber: www.kemenag.go.id

0 komentar:

Posting Komentar